Lembaran Dakwah Uswatun Hasanah "Adopsi" - Prof.Dr.Yunahar Ilyas, LC (Ceramah Bagian 2)
ADOPSI
"Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan." (Q.S. Al-Kahfi 18:46).
Tidak Mewarisi Kekayaan
Menurut Ibnu Katsir (III:142), yang dimaksud dengan mewarisi harta kekayaan karena Zakaria untuk memenuhi kebutuhan hidupnya berprofesi sebagai tukang kayu yang tidak mempunyai harta kekayaan yang banyak. Lagi pula berdasarkan keterangan dari Rasulullah, para Nabi tidak mewariskan kekayaan kepada keluarganya. Dalam hadits riwayat Tarmidzi Nabi SAW bersabda : "Kami para Nabi tidak mewariskan kekayaan.". Jadi, menurut Ibnu Katsir, yang dimaksud oleh Nabi Zakaria.AS, warisan yang diharapkan akan diterima oleh putera yang dimohonkannya itu adalah warisan kenabian (mirats an-nubuwwah).
Doa Nabi Zakaria.AS dikabulkan Allah.SWT dengan menganugerahi beliau seorang putera yang namanya langsung diberikan oleh Allah sendiri, yaitu Yahya. Dan Yahya kelak akan menjadi Nabi yang meneruskan risalah yang disampaikan oleh ayahnya.
Motivasi mulia seperti Nabi Zakaria.AS itulah yang paling terpuji bagi seseorang dalam mengharapkan anak, walaupun motivasi-motivasi lain sebagaimana yang telah disebutkan di atas bukanlah terlarang. Tapi yang lebih penting dari sekedar meneruskan garis keturunan, mewarisi kekuasaan dan kekayaan, adalah meneruskan cita-cita dan perjuangan orang tuanya.
Beberapa orang tua yang sudah lama tidak mendapatkan anak, di samping tetap berusaha, mereka berdoa dengan sungguh-sungguh tanpa putus asa kepada Allah.SWT, akhirnya permohonan mereka dikabulkan oleh Allah. Tetapi tidak sedikit pula yang doanya (Allah yang mengetahui hikmahnya) tidak dikabulkan oleh Allah.SWT. Untuk orang-orang semacam ini biasanya berusaha memenuhi naluri menjadi orang tuanya dengan mengangkat anak, baik anak saudara atau kerabatnya sendiri, maupun anak orang lain yang sama sekali tidak punya hubungan darah dengannya.
Dalam bahasa Arab, mengangkat anak seperti itu biasa disebut laqata (secara harfiah berarti memungut) atau tabanni (menganggap anak). Dalam bahasa Belanda disebut adaptie dan dalam bahasa Inggris disebut adopt. Sedangkan istilah adopsi berasal dari adoptian dengan arti pengangkatan anak. Dalam percakapan sehari-hari anak seperti itu lazim disebut anak angkat.
Tradisi Mengangkat Anak
Tradisi mengangkat anak ini sudah ada sejak zaman sebelum Nabi Muhammad.SAW diutus. Pada masa itu anak-anak yang diangkat atau diadopsi dianggap sama dengan anak kandung. Nabi SAW sendiri punya seorang anak angkat yang bernama Zaid ibn Haritsah. Tadinya Zaid adalah budaknya khadijah binti Khuwalid, isteri Nabi SAW. Khadijah menghadiahkan Zaid kepada Nabi SAW yang kemudian memerdekakannya dan mengangkatnya sebagai anak dengan mengganti namanya Zaid ibn Muhammad, bukan Zaid ibn Haritsah. Dihadapan kaum Quraisy Nabi SAW berkata : "Saksikanlah oleh kalian bahwa Zaid kuangkat menjadi anakku dan ia mewarisiku dan aku mewarisinya."
Beberapa waktu kemudian, setelah beliau diangkat sebagai Nabi dan Rasul, turunlah wahyu mengoreksi masalah ini. Allah.SWT berfirman : "Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya, dan Dia tidak menjadikan isteri-isterimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu menjadi sebagai anak kandungmu (sendiri). Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama ayah-ayah mereka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui ayah-ayah mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Q.S. Al-Ahzaab 33:4-5).
Tidak Ada Hubungan Kewarisan
Dua ayat di atas mengoreksi sikap Nabi Muhammad SAW dan orang-orang Mekkah lainnya yang menganggap anak angkat sama dengan anak kandung. Allah SWT menegaskan, pengakuan itu sama sekali tidak dapat merubah status hukum anak angkat menjadi anak kandung. Oleh sebab itu anak angkat tidak boleh dinisbahkan kepada ayah kandungnya. Dalam kasus Zaid, tidak boleh disebut Zaid ibn Muhammad, tetapi tetap Zaid ibn Haritsah. Karena bukan anak kandung, tapi sama dengan orang lain. Oleh sebab itu antara anak angkat dengan orang tuanya tidak ada hubungan kewarisan dan hubungan kemahraman.
Persoalan kemahraman ini perlu ditekankan, karena banyak yang menganggap dan memperlakukan anak angkat sebagai mahram. Untuk menegaskan dan membuktikan bahwa anak angkat tidak punya hubungan kemahraman sama sekali dengan orang tuanya, Allah SWT sampai memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk mengawini Zainab, janda Zaid ibn Haritsah. Dalam tradisi Arab sebelum Islam, Nabi SAW tidak boleh mengawini Zainab, mantan menantu angkatnya itu. Tapi Allah justru memerintahkan Nabi SAW mengawininya.
Allah SWT berfirman : "Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmatnya kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya : "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi. Tidak ada suatu keberatan pun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebai sunnah-Nya pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu. Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku." (Q.S. Al-Ahzaab 33:37-38).
Setelah turunnya ayat-ayat diatas seorang Muslim tidak boleh lagi memberlakukan anak angkatnya secara hukum sama dengan anak kandung. Lain masalahnya secara moril dan kasih sayang. Menyayangi anak sendiri adalah perbuatan mulia, tetapi semuanya itu tetap tidak dapat merubah status hukum dan segala konsekuensinya. Baca sebelumnya
Wallahu'alambishshawab.
Doa Nabi Zakaria.AS dikabulkan Allah.SWT dengan menganugerahi beliau seorang putera yang namanya langsung diberikan oleh Allah sendiri, yaitu Yahya. Dan Yahya kelak akan menjadi Nabi yang meneruskan risalah yang disampaikan oleh ayahnya.
Motivasi mulia seperti Nabi Zakaria.AS itulah yang paling terpuji bagi seseorang dalam mengharapkan anak, walaupun motivasi-motivasi lain sebagaimana yang telah disebutkan di atas bukanlah terlarang. Tapi yang lebih penting dari sekedar meneruskan garis keturunan, mewarisi kekuasaan dan kekayaan, adalah meneruskan cita-cita dan perjuangan orang tuanya.
Beberapa orang tua yang sudah lama tidak mendapatkan anak, di samping tetap berusaha, mereka berdoa dengan sungguh-sungguh tanpa putus asa kepada Allah.SWT, akhirnya permohonan mereka dikabulkan oleh Allah. Tetapi tidak sedikit pula yang doanya (Allah yang mengetahui hikmahnya) tidak dikabulkan oleh Allah.SWT. Untuk orang-orang semacam ini biasanya berusaha memenuhi naluri menjadi orang tuanya dengan mengangkat anak, baik anak saudara atau kerabatnya sendiri, maupun anak orang lain yang sama sekali tidak punya hubungan darah dengannya.
Dalam bahasa Arab, mengangkat anak seperti itu biasa disebut laqata (secara harfiah berarti memungut) atau tabanni (menganggap anak). Dalam bahasa Belanda disebut adaptie dan dalam bahasa Inggris disebut adopt. Sedangkan istilah adopsi berasal dari adoptian dengan arti pengangkatan anak. Dalam percakapan sehari-hari anak seperti itu lazim disebut anak angkat.
Baca Juga :
Tradisi Mengangkat Anak
Tradisi mengangkat anak ini sudah ada sejak zaman sebelum Nabi Muhammad.SAW diutus. Pada masa itu anak-anak yang diangkat atau diadopsi dianggap sama dengan anak kandung. Nabi SAW sendiri punya seorang anak angkat yang bernama Zaid ibn Haritsah. Tadinya Zaid adalah budaknya khadijah binti Khuwalid, isteri Nabi SAW. Khadijah menghadiahkan Zaid kepada Nabi SAW yang kemudian memerdekakannya dan mengangkatnya sebagai anak dengan mengganti namanya Zaid ibn Muhammad, bukan Zaid ibn Haritsah. Dihadapan kaum Quraisy Nabi SAW berkata : "Saksikanlah oleh kalian bahwa Zaid kuangkat menjadi anakku dan ia mewarisiku dan aku mewarisinya."
Beberapa waktu kemudian, setelah beliau diangkat sebagai Nabi dan Rasul, turunlah wahyu mengoreksi masalah ini. Allah.SWT berfirman : "Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya, dan Dia tidak menjadikan isteri-isterimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu menjadi sebagai anak kandungmu (sendiri). Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama ayah-ayah mereka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui ayah-ayah mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Q.S. Al-Ahzaab 33:4-5).
Tidak Ada Hubungan Kewarisan
Dua ayat di atas mengoreksi sikap Nabi Muhammad SAW dan orang-orang Mekkah lainnya yang menganggap anak angkat sama dengan anak kandung. Allah SWT menegaskan, pengakuan itu sama sekali tidak dapat merubah status hukum anak angkat menjadi anak kandung. Oleh sebab itu anak angkat tidak boleh dinisbahkan kepada ayah kandungnya. Dalam kasus Zaid, tidak boleh disebut Zaid ibn Muhammad, tetapi tetap Zaid ibn Haritsah. Karena bukan anak kandung, tapi sama dengan orang lain. Oleh sebab itu antara anak angkat dengan orang tuanya tidak ada hubungan kewarisan dan hubungan kemahraman.
Persoalan kemahraman ini perlu ditekankan, karena banyak yang menganggap dan memperlakukan anak angkat sebagai mahram. Untuk menegaskan dan membuktikan bahwa anak angkat tidak punya hubungan kemahraman sama sekali dengan orang tuanya, Allah SWT sampai memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk mengawini Zainab, janda Zaid ibn Haritsah. Dalam tradisi Arab sebelum Islam, Nabi SAW tidak boleh mengawini Zainab, mantan menantu angkatnya itu. Tapi Allah justru memerintahkan Nabi SAW mengawininya.
Allah SWT berfirman : "Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmatnya kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya : "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi. Tidak ada suatu keberatan pun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebai sunnah-Nya pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu. Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku." (Q.S. Al-Ahzaab 33:37-38).
Setelah turunnya ayat-ayat diatas seorang Muslim tidak boleh lagi memberlakukan anak angkatnya secara hukum sama dengan anak kandung. Lain masalahnya secara moril dan kasih sayang. Menyayangi anak sendiri adalah perbuatan mulia, tetapi semuanya itu tetap tidak dapat merubah status hukum dan segala konsekuensinya. Baca sebelumnya
Wallahu'alambishshawab.

Leave a Comment