Perlakuan Myanmar Terhadap Rohingya !! "Rohingya Sebuah Ironi" - Sjafruddin Djosan
Dunia belum juga mau henti dari peristiwa-peristiwa tragis yang melecehkan nilai-nilai kemanusiaan yang sadar ataupun tidak banyak kasus yang justru mengangkangi maksud-maksud penjunjungan HAM, idiom dan slogan dunia yang dibanggakan itu.
Lihatlah, apa yang terjadi di negara yang semula bernama Burma (kini Myanmar) yang di sana dikenal dua tokoh hebat dunia yang adalah justru bersentuhan dengan soal-soal urusan perdamaian dan HAM. Pemandangan yang kini begitu hebat adalah pembantaian anak manusia oleh kelompok mayoritas terhadap minoritas. Yang membuat kita miris yang tengah dibantai itu adalah identitas muslim dinegeri mayoritas penganut Buddha. Na'udzubillah.
Entah dosa apa yang disimpan etnik Muslim Rohingya sehingga begitu tega-teganya rezim penguasa lewat militernya membantai mereka secara biadab. Tidak berperikemanusiaan!
Yang terjadi adalah kembali bertumpu pada soal kerusakan dan ketiadapedulian orang banyak. Kita pun diingatkan oleh ayat Al-Qur'an ini : "Maka mengapa tidak ada dari umat-umat yang sebelum kamu orang-orang yang mempunyai keutamaan yang melarang daripada (mengerjakan) kerusakan di muka bumi, kecuali sebagian kecil di antara orang-orang yang telah Kami selamatkan di antara mereka dan orang-orang zalim yang mementingkan kenikmatan yang mewah yang ada pada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang berdosa. (QS Al-Huud : 116)

Lemahnya Penegakan HAM
Rangkaian peristiwa kekerasan terhadap etnis Rohingya memperlihatkan lemahnya komitmen dunia dalam penegakan HAM. Selama lima tahun terakhir konflik di Rohingya menyebabkan kian besarnya eskalasi jumlah korban jiwa dan ledakan jumlah pengungsi yang menderita. Jika dicermati, sesungguhnya etnis muslim Rohingya bukanlah ancaman terhadap negara Myanmar, karena :
- Komunitas Rohingya bukan merupakan milisi bersenjata. Berbeda dengan beberapa komunitas yang juga dipersekusi oleh penguasa sah di negaranya, misalnya Suku Kurdi di Irak. Bangsa Kurdi juga adalah bangsa tanpa negara. Rohingya adalah etnis yang amat lemah dan tidak memiliki milisi dan kelompok bersenjata. Dalam lima tahun terakhir, komunitas ini mengalami penderitaan yang nyaris mencapai puncak kebiadaban dalam seabad terakhir di Asia Tenggara. Tidak ada alasan keamanan negara untuk menekan masyarakat Rohingya.
- Tidak ada representasi politik di Myanmar yang dapat mewakili perjuangan nasib masyarakat Rohingya, Myanmar yang dalam puluhan tahun diperintah oleh kekuasaan junta militer tidak memberikan kesempatan kepada publik khususnya Rohingya untuk menyalurkan anspirasi politik. Tidak ada alasan keamanan negara untuk menekan masyarakat Rohingya.
- Komunitas Rohingya tidak mendapat sokongan khusus dari kekuatan politik internasional. Mereka tidak memiliki relasi internasinal yang dapat memperjuangkan nasibnya. Etnis Rohingya bukan sebuah gerakan separatis yang hendak mendapatkan pengakuan hak kewarganegaraan yang tidak pernah dipenuhi.
Ironi, Skenario Genoksida
Penderitaan etnis Rohingya adalah tragedi kemanusiaan yang amat disayangkan. Myanmar telah memperlihatkan tiga ironi besar dalam kasus Rohingya sekaligus.
- Ironi kesatu yakni penghargaan internasional, Hadiah Nobel perdamaian terhadap perjuangan HAM tokoh oposisi yang kini menjadi pemimpin de facto Aung San Suu Kyi. Nobel perdamaian itu bertentangan dengan semangat politik pemerintah Myanmar yang melakukan persekusi terhadap etnis Rohingya.
- Ironi kedua yaitu komitmen internasional tentang pembangunan menyeluruh dan berkelanjutan yang berbeda secara diametral dengan sikap pemerintah Myanmar terhadap warga negaranya. Penderitaan akibat persekusi di bawah simbol negara tersebut adalah ironi besar di tengah gencarnya gerakan internasional untuk mewujudkan Sustainable Development Goals (SDGs). Seluruh indikator SDGs bertentangan dengan kenyataan politik Myanmar terkait Rohingya. Ketika SDGs mengamatkan penghapusan semua bentuk kemiskinan, mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan jaminan peningkatan gizi, hidup sehat dan kesejahteraan segala usia, ketersediaan air bersih, keadilan gender dan perlindungan anak, serta beberapa indikator sosial lainnya, pemerintah Myanmar justru memperlihatkan hal sebaliknya lewat potret Rohingya.
- Ironi ketiga adalah ironi historis sebab satu-satunya negara di Asia Tenggara yang tokohnya pernah menjadi Sekjen PBB adalah Myanmar yaitu U Thant. Sebenarnya ini modal historis dan politis bagi Myanmar untuk tampil paling depan menjadi pelopor perdamaian dan keamanan dunia terutama dalam isu perlindungan kemanusiaan. Pembantaian yang condong menjadi aksi genoksida atas komunitas muslim itu memang tak sederhan, sebab Pemerintah Myanmar berkilah bahwa kaum Rohingya adalah imigran gelap dari Bangladesh. Pemerintahan Burma mengingkari hak kewarganegaraan mereka walaupun banyak data menunjukkan bahwa mereka telah menetap di sana selama beberapa generasi. Kita selaku warga dunia dan khususnya sebagai saudara yang seiman, mengutuk keras sikap ketidakadilan yang dipertontonkan Myanmar itu. Kita pun mengaspresiasi apa yang dilakukan Pemerintah Republik Indonesia yang berempati dalam konteks penyelesaian peristiwa di Myanmar itu.
Leave a Comment